Pekanbaru,riauantara.co | – Aroma musim kemarau kembali menyapa Riau, membawa angin panas dan langit yang tampak samar. Namun yang membuat cemas bukan hanya sengatan mentari, melainkan selimut putih pekat yang mulai menggantung rendah di cakrawala. Bukan embun pagi, melainkan kabut asap yang mulai menusuk pernapasan.
Warga Pekanbaru mulai mengeluhkan udara pagi yang tak lagi segar. “Awalnya saya kira kabut biasa, tapi setiap hari dada makin sesak,” ujar seorang warga di kawasan Tampan. Suasana ini menghidupkan kembali ingatan kelam akan krisis kabut asap yang pernah menjerat Riau dalam belenggu bencana ekologis beberapa tahun silam.
Kini, masyarakat Riau dihantui pertanyaan besar: Apakah kabut asap akan kembali menjadi momok di tahun 2025 ini? Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Musim kemarau memang kerap identik dengan meningkatnya potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penyebab utama bencana asap berkepanjangan.
Harapan publik tertuju kepada pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun pusat, untuk bergerak cepat dan sigap dalam mengantisipasi ancaman ini. Penanganan sejak dini sangat krusial agar aktivitas masyarakat tak kembali lumpuh, sekolah tak lagi ditutup, dan jadwal penerbangan tidak terganggu.
Pemantauan titik panas (hotspot) harus ditingkatkan. Begitu pula dengan penegakan hukum tegas terhadap pelaku pembakaran lahan secara ilegal. Pencegahan lebih baik daripada membiarkan situasi memburuk dan mengulang krisis yang pernah terjadi.
Riau kini berada di ambang ujian lingkungan yang menantang. Warga hanya ingin satu hal: sinar mentari pagi yang jernih dan langit biru tanpa asap. Semoga musim kemarau 2025 ini bisa dilalui dengan tenang, tanpa tragedi ekologis yang mengorbankan kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi muda.
Penulis: Rahmat Handayani
Ketua Forum Pemimpin Redaksi (FPR) Riau
Komentar