![]() |
Oleh: Dr. Abdul Haque Albantanie |
Pekanbaru, riauantara.co | Jihad itu bukan hanya di medan perang. Hari ini, jihad yang paling nyata adalah jihad mengangkat ekonomi umat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah tepat ketika menyerukan Resolusi Jihad Ekonomi, yang kembali ditegaskan dalam forum penting: Kongres Ekonomi Umat II, diselenggarakan pada 8–10 Agustus 2025 di Jakarta.
Pada momentum ini, para ulama, ekonom, pengusaha, hingga praktisi UMKM duduk bersama membahas bagaimana masjid dan pesantren bisa menjadi garda terdepan penguatan ekonomi umat. Tidak sekadar wacana, tapi harus menjadi gerakan nyata di tengah masyarakat.
Masjid dan Pesantren Harus Punya Unit Usaha Ekonomi
Kenapa masjid dan pesantren—dua institusi besar umat Islam—belum sepenuhnya jadi pusat penguatan ekonomi? Padahal jumlahnya ribuan, tersebar di seluruh Indonesia.
Bayangkan kalau setiap masjid punya satu unit usaha: koperasi jamaah, minimarket syariah, atau usaha katering. Jamaah tidak perlu lagi antre pinjam uang dengan bunga tinggi—masjid bisa hadir sebagai solusi ekonomi nyata, bukan sekadar tempat “curhat rohani”.
Pesantren pun demikian. Kita bangga kalau santri bisa hafal 30 juz—itu luar biasa. Tapi akan lebih gemilang lagi bila santri menghafal Qur’an dan tahu cara mengelola unit usaha yang mendukung pesantrennya: real, mandiri, dan menyejahterakan.
Umat Mayoritas, Ekonominya Jangan Minoritas
Umat Islam di Indonesia memang mayoritas, namun penguasaan ekonomi belum proporsional. Masjid ramai saat tarawih, tapi sepi saat bicara pemberdayaan ekonomi. Pesantren penuh santri, namun sering masih bergantung pada hutang warung tetangga.
Kenyataan ini harus diubah—umat tidak boleh hanya kuat dalam spiritualitas, tapi juga harus kuat dalam ekonomi.
Al-Qur’an menegaskan:
> “...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Dalil-dalil tersebut menyatakan bahwa aktivitas ekonomi yang halal dan manfaatnya bagi sesama adalah bagian integral dari ibadah. Bagi masjid dan pesantren, membantu jamaah yang kesulitan lewat unit usaha ekonomi adalah bentuk jihad modern.
Apa reaksi kita ketika ada jamaah datang minta bantuan ekonomi, tapi masjid tak bisa membantu karena tidak punya unit usaha? Itu ironi. Seandainya ada koperasi masjid, jamaah bisa terbantu tanpa harus ke bank dengan bunga tinggi. Pesantren dengan unit pertanian, perdagangan, atau usaha digital—santri akan belajar lebih, sekaligus mandiri dalam ekonomi.
Resolusi Jihad Ekonomi ini bukan pilihan—tapi kewajiban. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kita tidak ingin umat Islam hanya jadi penonton di negerinya sendiri, bukan?
Jangan sampai masjid hanya dikenal sebagai tempat “lepas sandal”—masjid juga harus menjadi tempat “lepas dari masalah ekonomi”. Pesantren jangan hanya melahirkan ulama, tetapi juga pengusaha berakhlak mulia.
Jika Resolusi Jihad Ekonomi yang ditegaskan MUI pada 8–10 Agustus 2025 di Jakarta ini benar-benar diimplementasikan, insya Allah umat Islam tidak lagi gelisah di akhir bulan. Sebaliknya, umat akan kuat iman, kuat ilmu, dan juga kuat ekonomi.
Komentar