KONFLIK LAHAN DI GUNUNG SAHILAN MEMANAS, KTSL PEGANG IZIN SAH TANAH ULAYAT ± 300 HEKTARE | riauantara.co
|
Menu Close Menu

KONFLIK LAHAN DI GUNUNG SAHILAN MEMANAS, KTSL PEGANG IZIN SAH TANAH ULAYAT ± 300 HEKTARE

Rabu, 07 Mei 2025 | 20:33 WIB




Kampar, riauantara.co |  – Konflik lahan di kawasan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, kembali memanas dan menjadi sorotan publik. Perselisihan ini menyangkut klaim penguasaan tanah ulayat seluas  ± 300 hektare yang kini secara resmi dikuasai oleh Kelompok Tani Sungai Lombok (KTSL), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 993 Tahun 2024.


Dalam SK tersebut, Menteri Kehutanan memberikan izin resmi kepada KTSL untuk mengelola kawasan tersebut melalui perizinan berusaha di dalam kawasan hutan, sebuah legalitas yang menjadi penanda kuat bahwa KTSL kini memegang hak sah atas tanah yang telah lama menjadi objek sengketa tersebut.


Kepastian hukum ini disampaikan oleh Kuasa Hukum KTSL dari Kantor Hukum Budi Harianto & Rekan dalam konferensi pers yang digelar di Pekanbaru pada Selasa (6/5). Dalam keterangannya, Budi Harianto menegaskan bahwa kliennya, yaitu Kelompok Tani Sungai Lombok, telah melalui proses hukum dan administrasi yang sah untuk memperoleh hak atas lahan tersebut.


“Kami memiliki dokumen resmi berupa SK Menteri Kehutanan RI Nomor 993 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa ± 300 hektare lahan tersebut diperuntukkan bagi KTSL. Ini adalah hasil perjuangan hukum dan administratif yang telah kami tempuh sejak 2017. Tidak ada lagi alasan untuk meragukan legalitas pengelolaan lahan ini oleh KTSL,” ujar Budi Harianto.


Ia juga menambahkan bahwa semua prosedur, baik teknis maupun administratif, telah dipenuhi, termasuk verifikasi pengakuan atas tanah ulayat oleh tokoh adat dan masyarakat setempat.


Sebagai informasi, pengajuan izin pengelolaan oleh KTSL bermula dari kesepakatan bersama petani dan tokoh masyarakat Gunung Sahilan pada tahun 2017, yang kemudian didukung dengan berbagai dokumen, termasuk peta partisipatif dan analisis dampak sosial. Legalitas itu diperkuat dengan pengakuan tanah ulayat melalui musyawarah adat, yang menjadi syarat utama dalam permohonan izin ke Kementerian Kehutanan.


Dengan adanya SK Menteri Kehutanan, KTSL kini berhak melakukan kegiatan pertanian berbasis konservasi di lahan tersebut, termasuk reboisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal.


Situasi di Gunung Sahilan mencerminkan kompleksitas persoalan agraria di Indonesia yang melibatkan benturan antara hukum adat, hukum positif, dan kepentingan masyarakat. Diperlukan pendekatan komprehensif dan dialog intensif agar konflik ini tidak meluas, serta memastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan dengan adil dan berkelanjutan.

Bagikan:

Komentar