![]() |
Oleh: Dr. Abdul Haque Albantanie (DR AHA) |
Pekanbaru, riauantara.co |Hidayah bukan sekadar anugerah—ia adalah kemewahan spiritual yang tak bisa dibeli dengan uang, jabatan, atau ketenaran. Di dunia yang dipenuhi gemerlap duniawi, hanya sedikit jiwa yang benar-benar tersentuh oleh sinar petunjuk Ilahi. Lalu, mengapa hidayah terasa begitu langka dan bernilai tinggi?
Mari kita renungkan tiga alasan utamanya, dilengkapi dengan dalil dan analogi yang menggugah hati.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 56, Allah menegaskan:
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa yang layak menerima petunjuk.”
(QS. Al-Qashash: 56)
Nabi Muhammad ﷺ—manusia pilihan yang doanya tak tertolak—bahkan tidak mampu memberikan hidayah kepada pamannya sendiri, Abu Thalib. Ini menjadi bukti nyata bahwa hidayah bukan tentang siapa yang menyampaikan, tetapi siapa yang Allah kehendaki.
Bayangkan seorang profesor matematika terbaik di dunia ingin mengajarkan ilmu kepada anaknya, tetapi si anak menolak belajar. Walau segala sarana dan kesabaran diberikan, hasil akhirnya tetap berada di tangan Sang Pemberi Hidayah.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pada zaman Nabi, unta merah adalah simbol kemewahan tertinggi—setara dengan mobil sport super mewah atau properti miliaran rupiah di zaman sekarang. Maka, siapa pun yang mendapatkan atau menjadi perantara hidayah, sejatinya telah memiliki sesuatu yang lebih berharga dari seluruh gemerlap dunia.
Coba renungkan: mana yang lebih sulit ditemukan—rumah besar atau hati yang damai? Banyak orang hidup mewah, tapi jiwanya resah. Di sinilah hidayah bekerja sebagai GPS spiritual—penunjuk arah hidup menuju kebahagiaan sejati yang tak bisa dibeli di etalase mana pun.
Imam besar yang ilmunya melampaui zaman, Imam Syafi’i rahimahullah, pernah berkata:
“Seandainya hidayah itu dapat dibeli, maka aku akan membelinya dan membagikannya dalam keranjang-keranjang untuk manusia.”
Ungkapan ini mencerminkan dua hal penting:
- Betapa tinggi nilai hidayah di mata orang-orang bijak.
- Semangat luar biasa untuk menyebarkan cahaya kepada sesama.
Ibarat menemukan obat mujarab untuk penyakit hati—dengki, kufur, hasad, sombong—tentu kita ingin membagikannya. Namun sayangnya, hidayah tidak bisa diproduksi masal. Ia turun perlahan ke hati-hati yang bersih, penuh harap, dan tulus meminta.
Hidayah tidak diwariskan, tidak bisa ditransfer, apalagi direkayasa. Tapi ia bisa dimohon dengan penuh kerendahan hati. Allah membuka pintu-Nya setiap saat, terutama pada waktu-waktu mustajab seperti sepertiga malam, sujud terakhir, dan hari Jumat yang penuh berkah.
Rasulullah ﷺ pun selalu berdoa memohon hidayah:
“Ya Allah, tunjukilah aku kepada akhlak yang paling mulia. Tak ada yang bisa menuntun kepada yang mulia kecuali Engkau.”
(HR. Muslim)
Hidayah adalah investasi abadi yang menyelamatkan hidup bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Di hari Jumat yang penuh berkah ini, mari kita jadikan momen untuk lebih menghargai, memohon, dan menyebarkan hidayah. Jadilah pribadi yang membuka jalan cahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan yang dipilih Allah untuk merasakan indahnya petunjuk-Nya.
✍️ DR AHA
Dr. Abdul Haque Albantanie
Komentar