Legalitas Penjaminan di Indonesia | riauantara.co
|
Menu Close Menu

Legalitas Penjaminan di Indonesia

Rabu, 10 Agustus 2022 | 12:50 WIB




Wilda Arifalina, SH., M.Kn
(Penulis Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru


Riauantara.co.| Pekanbaru - Berbicara mengenai jaminan tentu saja berkaitan dengan hutang (utang). Hutang biasanya ada karena adanya pinjaman berupa uang atau barang maupun pembelian yang dilakukan secara kredit yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati. 


Berdasarkan Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan pula bahwa “pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sesuatu jumlah tentang barang-barang atau uang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. 


Dalam ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain, ia akan menerima kembali jumlah uang yang sama sesuai dengan persetujuan yang disepakati.


Pinjam meminjam tidak mengharuskan adanya Jaminan, namun jaminan menjadi penting manakala pihak kreditur (Pemberi Pinjaman) ingin uang/barang yang dipinjamkan tersebut dapat kembali tepat waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. 


Walaupun secara umum didalam Pasal 1131 KUHPerdata “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. 


Namun tak semudah itu kreditur (Pemberi Pinjaman) mendapatkan pembayaran atas hutang si debitur (Penerima Pinjaman) walaupun didalam KUHPerdata sudah mengaturnya . 


Tidak bisa sembarangan kreditur (Pemberi Pinjaman) mengambil barang milik si debitur (Penerima Pinjaman), harus ada perintah pengadilan atau kesediaan si debitur (Penerima Pinjaman) untuk memberikan barangnya sebagai bentuk pelunasan hutang. 


Pengambilan barang milik si debitur (Penerima Pinjaman) tanpa melalui penjaminan merupakan tindak pidana.

Kerap kali masyarakat tidak mengetahui penjaminan menurut hukum di Indonesia. 


Setiap barang yang diberikan kepada kreditur (Pemberi Pinjaman) semuanya disebut dengan Gadai. Padahal penjaminan di Indonesia itu ada jaminan kebendaan dan ada yang namanya jaminan perorangan. Benda yang dijaminkan itu diperhatikan terlebih dahulu apakah benda itu benda bergerak atau benda tidak bergerak. Hal itu dilakukan untuk menentukan jenis penjaminannya termasuk gadai, fidusia, hak tanggungan, ataupun hipotik. 


Sedangkan untuk jaminan perorangan ada yang namanya jaminan penanggungan (Borgtocht), bank garansi dan jaminan perusahaan (corporate guarantee).


Permasalahan yang sering terjadi, masyarakat hanya dengan memberikan sertifikat tanah/rumah dan BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor) kepada si kreditur (Pemberi Pinjaman)  dan menerima pinjaman, menganggap sudah ada penjaminan. 


Padahal sebenarnya menurut hukum penjaminan di Indonesia, keadaan yang demikian bukanlah jaminan. Ada hal-hal yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin menjaminkan atau menerima jaminan. 


Konsekuensi yang akan ditanggung oleh si kreditur (Pemberi Pinjaman) ketika tidak melakukan penjaminan menurut hukum di Indonesia, maka akan kesulitan melakukan eksekusi terhadap objek yang diberikan tersebut yang dianggap itu adalah jaminan, padahal bukan. Belum lagi jika ada itikad tidak baik dari si debitur (Penerima Pinjaman) misalkan dengan menyatakan sertifikatnya hilang dan membuat menduplikat sertifikat yang dipegang si kreditur (Pemberi Pinjaman). 


Tentu saja hal tersebut merugikan si kreditur (Pemberi Pinjaman).

Selanjutnya apa yg harus dilakukan agar penjaminan itu sah? Maka harus diperhatikan legalitas penjaminan di Indonesia. Legalitas itu perihal keadaan sah atau keabsahan yang berarti suatu hal yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum. 


Menurut hukum di Indonesia sah nya sebuah penjaminan apabila di buat perjanjian pinjam meminjamnya terlebih dahulu baru diikuti dengan pendaftaran jaminannya. Apapun jenis penjaminannya, baik gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik, jaminan penanggungan (Borgtocht), bank garansi dan jaminan perusahaan (corporate guarantee) terlebih dahulu dibuatkan perjanjian pinjam meminjam yang sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Setelah itu didaftarkan penjaminannya seperti Fidusia (untuk kendaraan bermotor), hak tanggungan (untuk sertifikat tanah dan bangunan), atupun Hipotik (Untuk Kapal Laut). Setelah mendapatkan sertifikat jaminannya barulah dapat melakukan eksekusi terhadap objek yang dijaminkan tersebut.


Oleh sebab itu maka masyarakat harus mengetahui aturan mengenai legalitas penjaminan di Indonesia, agar dapat memperoleh kepastian dalam pembayaran hutang (pinjaman). Sebab tanpa dibuat perjanjian atau akta penjaminannya maka objek atas jaminan tersebut tidak bisa di eksekusi. Jika tidak mengetahui cara membuat perjanjian dan akta penjaminan dapat menghubungi Notaris/PPAT yang ada di wilayah hukum tempat tinggal yeng terdekat.(ril)

Bagikan:

Komentar