Ketika AI Masuk ke Sekolah: Guru Bukan Tergusur, Tapi Berevolusi | riauantara.co
|
Menu Close Menu

Ketika AI Masuk ke Sekolah: Guru Bukan Tergusur, Tapi Berevolusi

Minggu, 25 Mei 2025 | 18:34 WIB

 


Oleh: Lina (Parafrase dari artikel oleh Rira Jun Fineldi)



Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini tak lagi sekadar wacana futuristik. Ia telah menjadi kekuatan revolusioner yang mengubah wajah kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Dalam kurun waktu yang singkat, teknologi AI berkembang pesat menghadirkan inovasi seperti chatbot pembelajaran real-time, platform adaptif yang disesuaikan dengan gaya belajar siswa, hingga sistem penilaian otomatis yang meringankan beban guru.


Di tengah gelombang ini, muncul pertanyaan besar: jika AI mulai masuk dalam kurikulum sekolah, apa yang akan terjadi pada peran guru? Banyak pihak, dari pendidik hingga pembuat kebijakan, mulai menggugat status quo khawatir bahwa mesin akan mengambil alih ruang kelas sepenuhnya. Namun, benarkah demikian?


AI memang menunjukkan efisiensi dalam pembelajaran, namun tidak semua aspek pendidikan bisa diotomatisasi. Elemen-elemen seperti empati, intuisi, hingga kemampuan membina hubungan emosional hanya bisa dilakukan oleh manusia. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga sosok yang membentuk karakter dan memberi inspirasi.


Contoh penerapan AI yang sukses dapat dilihat dari platform Duolingo, yang menggunakan teknologi untuk menyesuaikan materi belajar berdasarkan kemampuan pengguna. CEO-nya, Luis von Ahn, bahkan menyatakan bahwa peran sekolah di masa depan bisa lebih mengarah pada pengasuhan, karena proses belajar mungkin akan lebih efektif dijalankan oleh mesin. Meskipun terdengar radikal, pandangan ini mencerminkan potensi pergeseran besar dalam sistem pendidikan.


Namun, survei yang dimuat dalam ScienceDirect tahun 2024 menunjukkan mayoritas guru dan pelajar menolak ide bahwa AI dapat sepenuhnya menggantikan guru. Mereka percaya bahwa kehangatan emosional, pendekatan personal, serta hubungan sosial dalam kelas adalah hal yang tak bisa digantikan oleh mesin secanggih apa pun.


Organisasi seperti UNESCO pun telah mengembangkan AI Competency Framework for Teachers untuk membekali pendidik dengan kemampuan literasi digital dan etika AI tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pendidikan. OECD juga menyuarakan hal serupa, menekankan pentingnya peran guru dalam mengembangkan soft skills abad 21 seperti kreativitas, berpikir kritis, hingga kolaborasi.


Meski demikian, peran AI dalam meringankan beban administratif guru patut diapresiasi. Penilaian otomatis, pengelolaan materi, dan analisis data dapat dilakukan lebih cepat dengan bantuan mesin. Tantangannya adalah memastikan guru tidak hanya menjadi operator teknologi. Maka dari itu, pelatihan literasi digital untuk guru menjadi kunci agar mereka bisa menjadi pengguna cerdas, bukan sekadar pelaksana sistem.


Di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata terhadap kesenjangan infrastruktur yang masih terjadi di Indonesia. Sekolah di wilayah terpencil masih sulit mengakses teknologi, berbeda dengan sekolah perkotaan yang lebih siap. Tanpa solusi konkret, AI justru berpotensi memperbesar kesenjangan pendidikan.


Ada juga kekhawatiran psikososial yang muncul jika interaksi antarmanusia digantikan AI. Guru tak hanya mengajar, tetapi juga menjadi pembimbing emosional, konselor informal, dan teladan bagi siswa. AI mungkin bisa memetakan perilaku, tapi belum mampu menangkap konteks sosial dan emosi secara utuh.


Jadi, pertanyaan bukan lagi apakah AI akan menggantikan guru, tetapi bagaimana guru dan AI bisa saling melengkapi. Guru tetap berperan sebagai fasilitator dan mentor, sementara AI menjadi alat bantu yang memperkuat efektivitas pembelajaran.


Dengan kebijakan yang tepat dan pelatihan yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa teknologi bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan. Guru tidak akan punah mereka akan berevolusi.**


Bagikan:

Komentar