Oleh: Feri Akri Domo
Pekanbaru, riauantara.co | Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang makin terjerat pada obsesi materi dan kemewahan semu, esensi hidup seringkali terlupakan: kehidupan akhirat. Tak jarang, ibadah hanya dijalankan sebagai rutinitas seremonial, hampa makna dan tak menyentuh dimensi sosial. Inilah refleksi tajam yang disampaikan oleh Feri Akri Domo dalam perenungannya pada Jumat, 16 Mei 2025.
Feri menyoroti bahwa menjalankan agama seharusnya tidak berhenti pada ibadah individual yang dipertontonkan. Banyak orang bersyukur, namun lupa untuk berbuat syukur. Padahal, sejatinya, ibadah yang diterima Tuhan adalah yang memberi manfaat nyata bagi orang lain—khususnya mereka yang masih hidup dalam kekurangan: kaum dhuafa, anak yatim, serta fakir miskin yang belum merasakan keadilan sosial, pendidikan yang layak, maupun harapan masa depan.
“Sudah waktunya kita mengubah paradigma, khususnya bagi kalangan yang berkecukupan. Ibadah haji dan umrah, cukup dilakukan sekali seumur hidup. Sisanya? Salurkan untuk meringankan beban sesama. Ibadah bukan semata-mata ritual, tapi harus berdampak sosial,” tegas Feri.
Ia pun mengangkat kisah klasik nan inspiratif: seorang wanita berdosa yang masuk surga karena memberi seteguk air dengan ikhlas kepada seekor anjing yang kehausan. Kisah ini menegaskan bahwa tindakan kecil yang dilakukan dengan ketulusan bisa lebih mulia di mata Tuhan dibanding ibadah megah yang dibalut kepura-puraan.
Feri menutup renungannya dengan ajakan tegas: “Dunia semakin tua, moral para penguasa makin rapuh. Sudah saatnya kita bangkit dengan ibadah yang membumi—ibadah yang menjadi motor penggerak kemaslahatan sosial, mengangkat derajat bangsa, dan menghadirkan keberkahan negeri.”
Berbuat syukur jauh lebih bermakna ketimbang sekadar merasa bersyukur. Inilah waktu terbaik untuk mengubah syukur menjadi gerakan nyata. Jika umat ini menjadikan ibadah sebagai kekuatan sosial, maka Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang kuat, adil, dan penuh rahmat. InsyaAllah.
Komentar