Penulis: Hotman Chris Mario dan Irwan Lumban Gaol (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning)
Dalam konteks sosial yang semakin kompleks, peristiwa tawuran dan kekerasan seksual masih menjadi ancaman nyata bagi ketertiban umum dan keselamatan warga negara. Oleh karena itu, penting untuk memahami dengan jelas cakupan hukum pidana Indonesia dalam menangani dua kejahatan ini. Penelitian ini secara yuridis normatif berupaya mengupas bagaimana Pasal 170 dan Pasal 358 KUHP diaplikasikan dalam kasus tawuran, serta analisis terhadap ketentuan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP lama dan Pasal 473 UU 1 Tahun 2023 (KUHP baru).
Tawuran dan Kekerasan Kolektif: Pasal 170 vs Pasal 358 KUHP
Perkelahian massal atau tawuran kerap menimbulkan keresahan publik, kerusakan fasilitas, dan bahkan korban jiwa. Berdasarkan hasil kajian, Pasal 170 KUHP lebih tepat diterapkan dalam peristiwa tawuran yang melibatkan kekerasan secara kolektif, baik yang menimbulkan kerusakan maupun tidak.
Pasal 170 mengatur tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang atau barang. Ini mencakup unsur kolektivitas dan dampak terhadap ketertiban umum. Adapun Pasal 358 KUHP, yang menyasar perkelahian biasa dengan akibat luka atau kematian, lebih tepat diterapkan jika terjadi eskalasi serius seperti korban jiwa atau luka berat.
Artinya, penerapan pasal harus mempertimbangkan unsur kerumunan, niat kolektif, dan akibat yang ditimbulkan. Ini juga berhubungan erat dengan doktrin penyertaan atau keterlibatan banyak pelaku, yang menjadi ciri khas dari peristiwa tawuran.
Perkosaan dan Transformasi Norma Hukum: Dari KUHP Lama ke KUHP Baru
Dalam aspek kejahatan seksual, Pasal 285 KUHP lama telah lama menjadi rujukan utama. Pasal ini menyebut bahwa pelaku perkosaan adalah siapa pun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan seksual di luar perkawinan. Namun, definisi ini dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
KUHP baru, lewat Pasal 473 UU No. 1 Tahun 2023, memperluas cakupan korban tindak pidana perkosaan. Tidak lagi hanya wanita, korban kini dapat berupa laki-laki, suami, istri, hingga anak. Ini mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dan modern dalam perlindungan terhadap kekerasan seksual.
Poin penting lainnya adalah pengakuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak hanya melibatkan penetrasi fisik. KUHP baru juga menekankan pada persetujuan dan posisi relasi kuasa, yang sering kali menjadi faktor utama dalam terjadinya kekerasan seksual.
Kesimpulan: Kebutuhan Reformasi dan Penegakan Hukum yang Responsif
Reformasi hukum pidana, sebagaimana tercermin dalam KUHP baru, merupakan langkah penting dalam menjawab tantangan kekerasan dan ketidakadilan. Kasus tawuran dan kekerasan seksual harus dilihat tidak semata-mata sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang membutuhkan pendekatan komprehensif.
Negara wajib hadir tidak hanya dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam pencegahan melalui pendidikan hukum, pendekatan kultural, serta perlindungan terhadap korban. Melalui pemahaman yang utuh terhadap pasal-pasal yang relevan, diharapkan penegakan hukum di Indonesia dapat semakin adil, manusiawi, dan adaptif terhadap dinamika zaman.
Komentar